Pemerintah Aceh Belum Berpihak Terhadap Mutu Pendidikan

Anggaran yang banyak ternyata tidak selalu dapat menjamin mutu pendidikan yang baik, contoh terdekat adalah mutu pendidikan di Aceh selama ini. Kita dapat milihat, beberapa tahun belakangan ini, dana pendidikan yang dikelola oleh Pemerintah Aceh melalui Dinas  Pendidikan begitu besar, tahun 2009 saja mencapai Rp 1,3 Triliun, dan tahun 2010 1,1 Triliun.


Anggaran yang banyak ternyata tidak selalu dapat menjamin mutu pendidikan yang baik, contoh terdekat adalah mutu pendidikan di Aceh selama ini. Kita dapat milihat, beberapa tahun belakangan ini, dana pendidikan yang dikelola oleh Pemerintah Aceh melalui Dinas  Pendidikan begitu besar, tahun 2009 saja mencapai Rp 1,3 Triliun, dan tahun 2010 1,1 Triliun.

Berdasarkan fakta yang kita dapati di lapangan, potret suram masih menyelimuti dunia pendidikan kita di Aceh. Hasil laporan penelitian tim dari LM-UNJ menyebutkan kompetensi/kemampauan siswa dan guru di Aceh Besar masih rendah (Serambi Indonesia, 19/01/2009). Di kabupaten lain, menurut Salasi R, pengamat pendidikan, “Mutu pendidikan di Aceh Selatan belum memuaskan dan penempatan guru mata pelajaran (mapel) juga belum merata” . Sedangkan kelulusan UN 2010 hanya 82,96% dari 67.485. pada tingkat SMA.

Kondisi pendidikan di Aceh Besar dan Aceh Selatan tidak jauh berbeda dengan Kabupaten/Kota lainnya di Aceh, hal ini dapat kita lihat dari contoh kasus “Tahun 2009 Unsyiah terima 1.683 mahasiswa, dan siswa dari SMA/MA di Aceh hanya sekitar 33,3% yang lulus. Selnjutnya tahun 2010 ini, tingkat kelulusan hanya 82,96 persen dari 67.485 peserta Ujian Nasional (UN) Tahun 2010 tingkat SMA, MA, dan SMK se Aceh, ada apa dengan UN kita (ini rahasia umum), tapi saya tidak ingin mengulas masalah ini.

Mutu
Berbicara mutu pendidikan, kita pahami bahwa “mutu” dalam konteks “jasa” memberikan pelayanan kepada pelanggan atau pengguna, dalam hal ini  pelanggan atau penggunanya: pertama, mereka yang belajar dalam lembaga pendidikan, (primary external customers); kedua, pelanggan atau pengguna yang terkait dengan orang yang mengirim atau meminta jasa ke lembaga pendidikan, yaitu orang tua (secondary external customers); ketiga, bersifat tersier yaitu lapangan kerja, pemerintah dan pihak ketiga (swasta/masyarakat pengguna) ada dalam jenis ini (tertiary external customers).

Untuk pencapaian terselenggaranya pendidikan yang bermutu dan dapat memenuhi tuntutan dan kebutuhan pelanggan atau masyarakat Aceh, maka Pemerintah Aceh harus mengupayakan terwujudnya tiga pilar pendidikan dan mendudukkan skala prioritas terhadap ketiga pilar tersebut. Pilar tersebut antara lain; a) perluasan dan pemerataan akses pendidikan, b) peningkatan mutu, relevansi pendidikan dan daya saing pendidikan, dan c) penguatan tata kelola, akuntabilitas dan citra publik pendidikan.

Pemerintah seharusnya dapat menjamin perluasan dan pemerataan akses pendidikan di seluruh penjuru Serambi Mekkah ini. Selanjutnya pemerintah harus melihat skala prioritas dan dimensi keadilan. Pemerintah Aceh akan dikatakan tidak adil, jika memprioritaskan pembangunan pagar-pagar sekolah di daerah yang sudah maju, karena masih ada anak-anak Aceh yang harus berjalan kaki berkilo-kilometer jauhnya.

Dengan kata lain, Pemerintah Aceh harus mengutamakan kebutuhan masyarakat terhadapa pembangunan gedung di daerah yang sama sekali tidak ada sekolah, kemudian memprioritaskan gedung baru atau penambahan gedung jika perbandingan siswa dengan daya tampung sekolah tidak rasional lagi. Pemerintah juga harus mengutamakan rehabilitasi gedung yang tidak layak dengan atap yang bocor, agar siswa tidak libur dikala hujan turun. Artinya pembangunan pagar sekolah akan menjadi prioritas selanjutnya jika tidak ada lagi masalah pemerataan akses dan keadilan. Untuk dapat melakukan hal ini, Pemerintah Aceh harus menyusun perencanaan pembangunan sektor pendidikan dalam konteks pemerataan akses harus berdasarkan data, bukan bisikan-bisikan.

Dalam konteks peningkatan mutu pendidikan, relevansi, dan daya saing pendidikan. Pada dasarnya hanya akan berhasil jika pemerintah memiliki komitmen dan konsisten dalam upaya mewujudkan hal tersebut. Kita berharap Pemerintah Aceh melalui dinas pendidikan memiliki komitmen yang kuat dan konsisten terhadap peningkatan mutu dengan peningkatan kualifikasi guru, menyediakan sumber dan media belajar atau pengadaan buku dan alat pembelajaran, meningkatkan profesionalisme dan peningkatan kompetensi (melalui program pelatihan/pendalaman materi ajar, model/pendekatan pembelajaran yang inovatif, efektif dan kreatif, pelatihan PTK, PAKEM, RME, KTSP, sistem penilaian berbasis kelas, dan lain-lain), dan mengaktifkan MGMP dan KKG, serta peningkatan kompetensi dan kreatifitas siswa.

Pemerintah Aceh juga harus serius mengupayakan penguatan tata kelola, akuntabilitas dan citra publik pendidikan. Sistem tata kelola akan terbangun dengan baik, jika mampu dibangunnya budaya organisasi di tingkat satuan pendidikan yang dicerminkan dengan tegaknya aturan, etika, adanya sistem penghargaan dan sanksi, dan adanya standar/prosedur pelayanan pendidikan. Serta upaya terhadap pembenahan manajemen yang berbasis sekolah secara merata di seluruh Aceh. Selanjutnya pembangunan citra publik yang baik akan terwujud jika adanya akuntabilitas, transparansi, dan pengawasan di tingkat satuan pendidikan. Semua ini tidak akan mungkin hadir dengan sendirinya tanpa dukungan dan komitmen pemerintah. Sehingga untuk mewujudkan hal ini, Pemerintah Aceh harus mendukung anggaran terhadap program-program yang relevan terhadap penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik pendidikan dengan merumuskan indikator keberhasilan program yang jelas.

Ketiga pilar pendidikan di atas harus dapat dijalankan bersama-sama. Penggunaan anggaran pendidikan kurang tepat jika didominasi oleh pembangunan gedung, rehab gedung, pengadaan mobiler, pembuatan pagar baru, serta pembangunan laboratorium dan alat-alatnya saja. Artinya, jangan jadikan lagi Dinas Pendidikan identik dengan Dinas PU. Bukankah Laboratorium Fisika dan Kimia akan jadi “Meseum Sekolah” jika guru-guru tidak mampu menggunakannya secara maksimal dan tidak ada program yang mendukung upaya ini? Akibatnya, pelatihan materi ajar dan workshop Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) tidak kalah pentingnya dengan membangun gedung baru.

Penulis mencontohkan, kabupaten/kota yang mendapat tambahan dana Otsus seperti  Kabupaten Aceh Timur, yang mendapat Rp. 35,6 miliar, terlalu berlebihan jika menghabiskan dana itu untuk pembangunan ruang sekolah, rehabilitasi gedung, pembangunan pagar, dan rintisan pembangunan lembaga pendidikan baru. Sehingga pertanyaannya adalah seberapa besar komitmen pemerintah melalui Dinas Pendidikan dalam meningkatkan mutu ditinjau dari peningkatan kompetensi dan profesionalisme guru di Aceh Timur?

Demikan juga halnya, di Kabupaten Aceh Tamiang yang mendapat dana Otsus Rp21 miliar, telalu ironis jika hanya menggunakan dana tersebut untuk pembangunan fisik saja, seperti; asrama, kantor guru, ruang kelas, Laboratorium komputer, Laboratorium bahasa, bengkel mesin dan praktek gambar. Dikala peningkatan kompetensi siswa dan guru di Aceh Tamiang masih perlu mendapat perhatian yang lebih serius.

Contoh lain dikabupaten Aceh Selatan yang akan memiliki anggaran pendidikan dari dana Otsus Rp25,8 miliar hanya menggunakan sekitar Rp411 juta saja untuk pelatihan guru MGMP dan KTSP. Apakah ini cukup rasional dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan di Aceh?.

Kondisi tersebut diatas tentunya banyak hal yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam peningkatkan mutu di seluruh kabupaten, etikat baik untuk memajukan pendidikan Aceh tentunya harus menyeluruh bukan hanya tertuju pada pembangunan fisik semata, namun harus dilihat pada pola peningkatan sumber daya manusia terutama dalam menujang mutu pendidikan.

Mencermati APBA tahun 2010, sebagai masyarakat, saya tidak dapat berharap banyak, terhadap APBA 2010 yang disahkan oleh DPRA sebanyak Rp1,1 Triliun yang belum berpihak pada peningkatan mutu pendidikan, Ini mengambarkan Pemerintah Aceh dan anggota dewan kita belum memiliki komitmen yang kuat dan pemahaman yang baik terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan di Aceh, akhirnya kita kembali terbuai dengan mimpi pada anggaran semata. Karena itu, Pemerintah Aceh dan anggota dewan jangan hanya berorientasi pada pembangunan gedung/fisik semata, namun juga harus mengupayakan program-program peningkatan mutu pendidikan secara linier dan rasional.

0 komentar:

Posting Komentar